Tuesday, October 28, 2008

" Si Bapak Tua "

Siang hari, suasana pelabuhan Tanjung Priok ini sungguh sangat
menyengat. Panas dan gersang sudah merupakan cuaca yang akrab ditemui di
sini. Dengan langkah malas aku menuju ke warung nasi terdekat untuk
mengisi perut ini. Terlihat di sekitarku kegiatan bongkar muat di
pelabuhan. Kontainer yang naik dan turun dari kapal laut, para pekerja
yang sibuk mengangkut barang yang akan dikirimkan, dan para mandor yang
sibuk berteriak mengatur para pekerjanya. Truk besar kecil, truk
kontainer, forklift dan kendaraan lainnya yang tak hentinya berlalu
lalang. Kegiatan di sini tak pernah ada kata diam.

Selesai makan, aku langsung menuju kantorku. "Lebih baik aku di kantor
yang sejuk daripada di luar yang sudah pasti panas dan membuat
berkeringat ini." Ah, sejenak kulihat pekerja-pekerja yang tanpa komando
berjalan teratur menuju sebuah kontainer. Rupanya ada perusahaan yang
sedang melakukan bongkar muat gula pasir. "Pasti ini impor deh, dan yang
sudah pasti ketahuan ruginya dalah para petani gula lokal kita," batin
ini menyelisik.

Angkat karung, turunkan, angkat lagi, turunkan. Kuperhatikan dari jauh
apa yang dilakukan pekerja itu. Tunggu dulu, aku lihat seraut wajah
bapak tua yang masih menjadi pekerja. Dari garis mukanya kutaksir dia
sudah tidak pantas untuk bekerja sekeras ini. Duh, hati ini seperti
teriris. Esok lusa aku sempat berpapasan dengan bapak tua itu yang
sedang menikmati sarapannya di sebuah gudang tua. Dari perawakannya dia
masih tampak bugar walaupun guratan-guratan ketuaan sudah jelas tampak
di sana sini. Segera kusapa dia, "Sedang sarapan, Pak?" tanyaku.

"Ya, Dik. Buat isi perut. Adik yang kerja di kantor itu?" dengan logat
sunda kulon kental dia balas bertanya sambil menunjuk ke arah kantorku.

"Ya, Pak. Bapak sudah lama kerja di sini?" aku mulai mencari tahu.

"Yah, begitulah. Bapak sudah puluhan tahun di sini. Maklum, pendidikan
minim, daripada menganggur. Saya harus menghidupi keluarga," jawab si
Bapak dengan raut sedikit muram.

Sambil membungkus sisa nasi yang tadi dimakan, lalu diselipkan di sela
dinding ruangan tempat dia istirahat. Di tempat itu banyak juga pekerja
lain yang istirahat di sini.

"Nasinya buat nanti siang lagi, lumayan buat ngirit," jelas si Bapak
tanpa menunggu aku bertanya.

"Saya mengerti, Pak. Semoga Allah memberikan barakah atas setiap rezeki
yang Bapak peroleh," aku menjawab dengan senyum getir dan juga sayatan
pilu kembali di hati ini. Sungguh aku terhenyak melihat enyataan di
hadapanku ini.

Si Bapak juga menjelaskan bahwa ia dibayar perkarung yang dia angkat
sebesar seratus rupiah. Ya Allah, berapa karung yang harus ia angkat
supaya bisa mencukupi kebutuhan keluarganya di kampung sana. Aku
langsung terdiam dan merasa malu pada diri ini yang kadang tidak puas
akan rezeki yang Allah berikan.

"Alhamdulilllah, kalo bisa bawa pulang dua ratus ribu buat keluarga di
rumah," lanjutnya.

"Makasih, Pak. Nanti kita sambung lagi," sambil tersenyum aku pamit,
karena jam kerja sudah dimulai pagi ini.

Dengan langkah gontai aku kembali ke kantor dan meneruskan pekerjaanku
sebagai teknisi. Terekam jelas perdebatan beberapa kawan kerjaku
beberapa hari yang lalu yang ingin segera menuntut naik gaji.
Pembicaraan yang alot yang kulihat rona wajah penuh ambisi tak berujung
di wajah mereka. Sungguh, aku sudah tak bersemangat lagi mengikuti
pembicaraan kawan-kawan mengenai hal itu setelah mengobrol dengan si
Bapak Tua.

Pesan bapak mertua di rumah juga masih kuingat baik-baik, "Nak,
bekerjalah bersungguh-sungguh, jika kau tidak suka atau kurang puas,
silahkan keluar. Itu lebih jantan daripada kamu membuat hal yang tidak
baik di tempat kerja. Banyak bersyukur karena tidak banyak orang yang
bisa bekerja saat ini." Sangat kontras apa yang Allah perlihatkan
kepadaku kali ini. Semoga setiap diri ini bisa bersyukur dan istiqomah
dalam syukurnya kepada Dzat Yang Maha Pemberi.

"Dan (ingatlah juga), tatkala Allah mengatakan; "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS
Ibrahim: 7)

Sumber : Anonymous

No comments: