Tuesday, July 24, 2007

ASTAGHFIRULLAH, MENGAPA MENJADI BEGINI ???

Tanggal: Mon, 23 Jul 2007 10:59:38 +0700
Dari: "Setiawan, Panggah" <SETIAWAP@Mattel.com>

-----Original Message-----
From: Jassin Hidayat


ASTAGHFIRULLAH, MENGAPA MENJADI BEGINI ???

Tak kusangka akhirnya menjadi begini. Hutang menumpuk dimana-mana, asset
nyaris habis tak bersisa, sementara cash-in atau pemasukan tetap yang
masuk ke pundi-pundi pribadiku semakin tidak jelas. Mungkin kisah ini
bisa menjadi cerminan bagi siapa saja yang akan melangkah menuju sesuatu
yang diharapkan akan lebih baik namun kenyataan sebaliknyalah yang
terjadi...

Kisah memilukan ini berawal dari keputusanku untuk melepas karir yang
kubangun bertahun-tahun dan segera bergerak menuju usaha mandiri yang
kudirikan bersama seorang rekan yang ( tadinya kuharap ) bisa diajak
kerjasama. Sadar akan usaha pribadiku yang belum bisa diharapkan untuk
bisa menjadi pengganti gaji bulananku selama ini, maka aku bergantung
pada usaha bersama seorang rekan untuk dapat kujadikan sandaran hidup.
Track record-nya bagus, cash flow usaha-nya oke, jadi intinya aku
tinggal jalan saja. Saat itu aku cukup lega, pada akhirnya aku bisa
menemukan seorang partner yang kuharap dapat diajak kerjasama selamanya
dan itu artinya aku mempunyai waktu yang lebih luang untuk tetap
mengembangkan bisnis pribadiku selama ini yakni usaha kios kecil di
kawasan Jakarta Pusat, juga bersama tim. Kurasakan saat itu, bahwa
impianku akan semakin dekat untuk menjadi seorang independen yang tak
lagi dibatasi waktu kerja dan rutinitas yang membosankan, karena kini
aku mempunyai waktu yang lebih luang dibanding sebelumnya ketika masih
menjadi orang gajian. Dana cadangan untuk biaya hidup, usaha dan lainnya
pun telah kupersiapkan untuk beberapa bulan kedepan. Oya, sebagai
informasi, aku membentuk usaha event organizer dengan target market
adalah para pelaku usaha UMKM. Sebuah bidang yang tak asing bagiku
dengan bidikan market yang juga sudah familiar dalam aktivitas
keseharianku, dimana akupun termasuk pelaku usaha UMKM. Awal-awal
kerjasama, semua terasa lancar dan relative tidak ada kendala berarti.
Bahkan aku semakin yakin bahwa ini akan berjalan baik seterusnya dan
tentunya memberikan penghasilan beberapa kali lipat lebih besar
dibanding yang pernah kuterima sebelumnya. Namun ternyata kenyataan
berbicara lain...

Seiring berjalannya waktu, perlahan namun pasti kurasakan sepertinya
kerjasama ini tidak bisa diteruskan lagi. Pasalnya, semakin hari partner
usahaku tersebut semakin tidak jelas kemana arahnya. Dus, dia juga tidak
lagi komitmen terhadap jadwal-jadwal training dan seminar yang telah
dijadwalkan sebelumnya ( bahkan kami sudah membuatnya dalam beberapa
tahun kedepan ). Alhasil, kerjasama ini berjalan ditempat dan tak lagi
bisa kuharapkan untuk dapat diteruskan. Sementara itu, kutengok
perkembangan usaha pribadiku. Idem ditto. Nyaris tak bergerak, bahkan
semakin hari biaya operasional yang harus kutanggung semakin membesar.
Terlebih status kios yang kami tempati juga tidak jelas kepemilikannya
dan sewaktu-waktu kamipun harus hengkang dari situ. Sadar dengan kondisi
itu, maka kuputuskan untuk segera hengkang dari kios tersebut sebelum
segala sesuatu yang lebih buruk terjadi. Lemas rasanya mendapati
kenyataan seperti ini. Kondisi usaha pribadi yang kuharapkan dapat
semakin membaik, hal sebaliknya malah terjadi. Bahkan jauh lebih
terpuruk sedemikian hingga meninggalkan setumpuk tagihan yang harus
kulunasi setiap bulan. Parahnya, kerjasamaku dengan seorang partner yang
kuceritakan tadi juga setali tiga uang. Tak lagi menghasilkan cash flow
yang positif yang minimal bisa mendongkrak keterpurukan usaha pribadiku.
Dan semua ini terjadi justru disaat aku tidak lagi bekerja, dimana gaji
bulananku yang selama ini bisa menjadi asset berharga tidak lagi
berjalan. Ya, Allah mengapa bisa menjadi begini ? Pada titik ini, baru
aku tersadar bahwa aku telah lalai dan terlalu terburu-buru dalam
mengambil keputusan. Mungkin kondisi ini tidak akan sedemikian terpuruk
jika aku tidak buru-buru melepas satu-satunya asset berharga yang
kumiliki saat itu, yakni gaji bulanan yang menjadi penopang hidupku
selama ini. Aku kurang cermat dan terkesan tidak sabar untuk segera
beralih status - bahasa kerennya : pindah kwadran - menuju seorang
independent dan bukan lagi pekerja. Haruskan kusalahkan mereka-mereka
yang terus menerus memotivasiku untuk segera action dan ambil keputusan
agar segera berwirausaha mandiri namun kenyataannya seperti ini ?
haruskah kutinggalkan komunitas-komunitas pewirausaha yang senantiasa
memberikan energi positif dalam pengembangan kepribadianku hanya karena
aku merasa telah gagal melangkah ? Kusadar, kegagalan dalam berbisnis
merupakan hal yang wajar dan lumrah. Namun, kali ini kegagalan itu
terasa getir dan menyakitkan karena dimana nyaris aku telah kehilangan
segalanya. Bahkan asset berharga aku satu-satunya pun turut terhempas,
demi menuruti sebuah impian menuju financial independent. Bahkan
kegagalan ini meninggalkan 'warisan' berupa setumpuk hutang yang harus
dilunasi setiap bulan. Setidaknya 50 juta rupiah total kewajibanku
kepada pihak ketiga yang harus kulunasi dalam jangka tiga tahun dari
sekarang. Kini aku hanya bisa berucap dan berdoa, " Ya Allah jangan
bebankan kepada kami beban yang kami tidak sanggup memikulnya..."

Bagaimana tidak, disaat hutang bertumpuk dimana-mana, nyaris tak ada
satu pun asset dari kami yang bisa digadaikan atau dijual. Kegagalan ini
menggiring kami jatuh kedalam kubangan jurang yang sangat dalam. Bahkan
sekarang biaya hidup kami ditopang dari hasil hutangan limit kartu
kredit yang tersisa yang tak terbayang oleh kami bagaimana cara
membayarnya kelak. Astaghfirullah...Satu-satunya asset yang kami miliki
saat ini adalah kemauan dan tekad yang keras untuk segera bangkit dari
keterpurukan ini. Dengan sisa tenaga dan kemampuan yang ada, terseok dan
tertatih kami coba kumpulkan lagi puing-puing keruntuhan usaha kami.
Lalu kami evaluasi dan renungi secara mendalam, kesalahan terbesar apa
yang telah kami lakukan hingga menjadi seperti ini. Kami sadar
diperlukan waktu yang sangat panjang untuk mengembalikan kondisi seperti
sediakala. Bahkan kami harus memulainya kembali dari 'titik minus'
dimana hutang dan kewajiban yang harus kami bayar setiap bulan plus
asset yang nyaris tidak bersisa, hingga itu menjadikan langkah kami
terasa semakin berat. Namun insyaAllah, dengan berbekal tekad dan
keinginan yang kuat untuk segera bangkit dan membenahi ini semua, kami
yakin akan mampu melewati itu. Walau sampai detik inipun kami tak tahu
dengan cara apa kami bisa membalikkan keadaan seperti sediakala. Intinya
sekarang kami ingin mengalir saja, yang penting survive dulu. Kami yakin
bahwa Allah pasti akan memudahkan jalan bagi hamba-Nya yang tengah
berusaha untuk menyibak tabir rejeki-Nya.

Demikian sepenggal episode dalam perjalanan hidupku. Aku berharap bagi
siapa saja yang membaca postingan ini dapat mengambil sekecil apapun
hikmah dari kisah getir ini.

Lewat media ini, aku hanya ingin berbagi dan berharap semoga ini bisa
menjadi cerminan bagi siapa saja yang ingin melangkah agar lebih
berhati-hati.

Dan ditengah kondisi yang sudah sangat terjepit ini, kami hanya bisa
bermohon kepada-Nya, dalam untaian doa yang kami panjatkan setiap malam
: " Ya Allah tunjukkan dengan kuasa-Mu siapa diantara berjuta-juta
makhluk-Mu yang dapat membantu mengangkatku dari keterpurukan seperti
saat ini..."

-Dituturkan Oleh :
Seseorangyangtengahterjepit-
Juli 2007


--
Someone

----------------------------------------------------------------
This message was Sent by Takaful Mail System

No comments: