Dari: "Rahardi, Mohamad Rian" <Mohamad-Rian.Rahardi@id.standardchartered.com>
Sejumlah sejarahwan yakin, bahwa pidato Winston Churchill yang paling
berpengaruh adalah ketika beliau berpidato di wisuda Universitas Oxford.
Churchill mempersiapkan pidato ini selama berjam-jam. Dan ketika saat
pidatonya tiba, Churchill hanya mengucapkan tiga kata : 'never give up'
(jangan pernah berhenti).
Sejenak saya merasa ini biasa-biasa saja. Tetapi ketika ada orang yang
bertanya ke saya, bagaimana saya bisa berpresentasi di depan publik
dengan cara yang demikian menguasai, saya teringat lagi pidato Churchill
ini.
Banyak orang berfikir kalau saya bisa berbicara di depan publik seperti
sekarang sudah sejak awal. Tentu saja semua itu tidak benar. Awalnya,
saya adalah seorang pemalu, mudah tersinggung, takut bergaul dan minder.
Dan ketika memulai profesi pembicara publik, sering sekali saya dihina,
dilecehkan dan direndahkan orang. Dari lafal 'T' yang tidak pernah
lempeng, kaki seperti cacing kepanasan, tidak bisa membuat orang
tertawa, pembicaraan yang terlalu teoritis, istilah-istilah canggih yang
tidak perlu, serta segudang kelemahan lainnya.
Tidak bisa tidur beberapa minggu, stres atau jatuh sakit, itu sudah
biasa. Pernah bahkan oleh murid dianjurkan agar saya dipecat saja
menjadi dosen di tempat saya mengajar.
Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh banyak agen asuransi
jempolan. Ditolak, dibanting pintu, dihina, dicurigai orang, sampai
dengan dilecehkan mungkin sudah kebal. Pejuang kemanusiaan seperti
Nelson Mandela dan Kim Dae Jung juga demikian. Tabungan kesulitan yang
mereka miliki demikian menggunung. Dari dipenjara,hampir dibunuh,
disiksa, dikencingin, tetapi toh tidak berhenti
berjuang.
Apa yang ada di balik semua pengalaman ini, rupanya di balik sikap ulet
untuk tidak pernah berhenti ini, sering bersembunyi banyak kesempurnaan
hidup. Mirip dengan air yang menetesi batu yang sama berulang-ulang,
hanya karena sikap tidak pernah berhentilah yang membuat batu berlobang.
Besi hanya menjadi pisau setelah ditempa palu besar berulang-ulang, dan
dibakar api panas ratusan derajat celsius. Pohon beringin besar yang
berumur ratusan tahun, berhasil melewati ribuan angin ribut, jutaan
hujan, dan berbagai godaan yang meruntuhkan.
Di satu kesempatan di awal Juni 1999, sambil menemani istri dan
anak-anak, saya sempat makan malam di salah satu restoran di depan hotel
Hyatt Sanur Bali. Yang membuat kejadian ini demikian terkenang, karena
di restoran ini saya dan istri bertemu dengan seorang penyanyi penghibur
yang demikian menghibur.
Pria dengan wajah biasa-biasa ini, hanya memainkan musik dan bernyanyi
seorang diri. Modalnya, hanya sebuah gitar dan sebuah organ. Akan
tetapi, ramuan musik yang dihasilkan demikian mengagumkan. Saya dan
istri telah masuk banyak restoran dan kafe. Namun, ramuan musik yang
dihadirkan penyanyi dan pemusik solo ini demikian menyentuh. Hampir
setiap lagu yang ia nyanyikan mengundang kagum saya, istri dan banyak
turis lainnya. Rasanya susah sekali melupakan kenangan manis bersama
penyanyi ini. Sejumlah uang tip serta ucapan terimakasih saya yang
dalam, tampaknya belum cukup untuk membayar keterhiburan saya dan istri.
Di satu kesempatan menginap di salah satu guest house Caltex Pacific
Indonesia di Pekan Baru, sekali lagi saya bertemu seorang manusia
mengagumkan. House boy (baca : pembantu) yang bertanggungjawab terhadap
guest house yang saya tempati demikian menyentuh hati saya. Setiap
gerakan kerjanya dilakukan sambil bersiul. Atau setidaknya sambil
bergembira dan tersenyum kecil. Hampir semua hal yang ada di kepala,
tanpa perlu diterjemahkan ke dalam perintah, ia laksanakan dengan
sempurna. Purwanto, demikian nama pegawai kecil ini, melakoni profesinya
dengan tanpa keluhan.
Bedanya penyanyi Sanur di atas serta Purwanto dengan manusia kebanyakan,
semakin lama dan semakin rutinnya pekerjaan dilakukan, ia tidak diikuti
oleh kebosanan yang kemudian disertai oleh keinginan untuk berhenti.
Ketika timbul rasa bosan dalam mengajar, ada godaan politicking kotor di
kantor yang diikuti keinginan ego untuk berhenti, atau jenuh menulis,
saya malu dengan penyanyi Sanur dan house boy di atas. Di tengah
demikian menyesakkannya rutinitas, demikian monotonnya kehidupan, kedua
orang di atas, seakan-akan faham betul dengan pidato Winston Churchill :
never give up.
Anda boleh mengagumi tulisan ini, atau juga mengagumi saya, tetapi Anda
sebenarnya lebih layak kagum pada penyanyi Sanur dan house boy di atas.
Tanpa banyak teori, tanpa perlu menulis, tanpa perlu menggurui, mereka
sedang melaksanakan profesinya dengan prinsip sederhana : jangan pernah
berhenti.
Saya kerap merasa rendah dan hina di depan manusia seperti penyanyi dan
pembantu di atas. Bayangkan, sebagai konsultan, pembicara publik dan
direktur sebuah perusahaan swasta, tentu saja saya berada pada status
sosial yang lebih tinggi dan berpenghasilan lebih besar dibandingkan
mereka. Akan tetapi, mereka memiliki mental never give up yang lebih
mengagumkan.
Kadang saya sempat berfikir, jangan-jangan tingkatan sosial dan
penghasilan yang lebih tinggi, tidak membuat mental never give up
semakin kuat.
Kalau ini benar, orang-orang bawah seperti pembantu, pedagang bakso,
satpam, supir, penyanyi rendahan, dan tukang kebunlah guru-guru sejati
kita.
Jangan-jangan pidato inspiratif Winston Churchill - sebagaimana dikutip
di awal - justru diperoleh dari guru-guru terakhir.
Oleh : Gede Prama
----------------------------------------------------------------
This message was Sent by Takaful Mail System
No comments:
Post a Comment