Publikasi: 18/03/2005
Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Abu Aqil sedemikian resah
seperti hari itu. Dia tenggelam dalam fikirannya tanpa mempedulikan
apa yang terjadi di sekitarnya. Dia seolah-olah tidak mendengar bunyi
apapun dan tidak melihat sesuatupun. Dia melangkah ke arah rumahnya
dengan cepat. Matanya memandang tanah dan mulutnya kelihatan
komat-kamit mengatakan sesuatu. Dia melewati lorong sempit sebelum
akhirnya tiba ke rumahnya. Dengan menarik nafas yang dalam, Abu Aqil
lalu bersandar di sebatang pohon tua di tengah halaman rumah.
Isterinya menyadari kekhawatiran yang melanda suaminya itu dan
bertanya, "Suamiku, apa yang terjadi?" Abu Aqil kemudian berjalan
masuk ke rumahnya. Karena kelelahan, dia bersandar ke dinding
rumahnya, lalu berkata, "Musuh Tuhan berniat untuk memerangi kita.
Tentara muslim sudah disiagakan untuk melawan musuh. Tetapi, tentara
kita tidak punya bekal dan makanan. Kami sedang berada di masjid
ketika Nabi membacakan sebuah ayat suci Al-Quran dan meminta kaum
muslimin untuk memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan mereka
masing-masing kepada tentara Islam."
Isteri Abu Aqil bertanya, "Apakah bunyi ayat itu?" Abu Aqil menutup
matanya dan setelah berpikir sejenak, dia membaca ayat ke-11 dari
surat Al-Hadiid yang artinya, "Siapa saja yang mau meminjamkan kepada
Allah pinjaman yang baik, akan diberi Allah balasan pinjaman yang
berlipatganda dan dia akan memperoleh pahala yang banyak."
Isterinya dengan pandangan kecewa menatap lantai ruangan kamar dan
berkata, "Engkau adalah pemimpin rumah ini dan engkau lebih mengetahui
bahwa kita tidak punya harta dan simpanan apapun untuk kita berikan di
jalan Tuhan. Abu Aqil menjawab, "Tetapi, kita harus turut melibatkan
diri dalam tugas ini. Tidakkah engkau ketahui bahwa perbuatan ini
disenangi oleh Tuhan dan Rasul-Nya?"
Abu Aqil melanjutkan perkataannya, "Ayat ini sangat menyentuh
perasaanku sehingga aku segera pulang ke rumah. Hari ini semua orang
Islam membawa apa yang mereka miliki kepada Nabi Muhammad saaw agar
permintaan Tuhan terpenuhi." Isterinya tersenyum dan dia mengambil
salah satu bejana dan mengeluarkan segenggam kurma sambil berkata
kepada Abu Aqil, "Kita mempunyai sedikit kurma. Ambillah dan berikan
kurma ini kepada Nabi."
Abu Aqil tertegun dan mengguman sendirian, "Apa yang bisa diperbuat
dengan kurma ini? Tetapi ini lebih baik daripada tidak memberi
sesuatupun." Isterinya lantas menaruh kurma itu dalam sebuah kain
bersih dan memberikannya kepada Abu Aqil. Dengan gembira, Abu Aqil
berkata, "Meskipun kurma ini tidak tampak berguna tetapi ia dapat
dimanfaatkan di medan perang."
Halaman kecil masjid ramai dipenuhi umat muslimin. Abu Aqil berada di
antara mereka. Dengan langkah yang lemah, dia memperhatikan bahwa ada
beberapa ekor biri-biri, kambing, dan unta terikat di luar masjid. Abu
Aqil menyadari bahwa hewan-hewan itu merupakan hadiah dari orang
ramai. Dia juga melihat orang-orang yang berkumpul di dalam masjid
dengan hadiah besar dan kecil di tangan mereka. Abu Aqil merapatkan
bungkusan yang berisi kurma ke dadanya dan dia berjalan masuk ke dalam
masjid.
Baru beberapa langkah memasuki masjid, Abu Aqil merasa ada seseorang
menepuk bahunya. Dia menoleh ke belakang. Dilihatnya Abdur Rahman bin
Auf dengan berpakaian mahal berdiri di hadapannya. Abdur Rahman dengan
suara mengejek berkata kepada Abu Aqil, "Katakan kepadaku apakah yang
ada di dalam bungkusan yang engkau peluk erat-erat itu? Emas atau
kawat?" Abdur Rahman lalu tertawa terbahak-bahak dengan penuh
penghinaan. Abu Aqil menundukkan kepala karena malu dan hanya berdiam
diri.
Beberapa kali Abu Aqil membuat keputusan untuk pulang ke rumahnya dan
menjauhkan diri dari pandangan penghinaan Abdur Rahman kepada nya.
Tetapi ada kekuatan dalam dirinya yang menghalanginya untuk pulang.
Akhirnya dia duduk diam-diam di sudut masjid. Dilihatnya Nabi Muhammad
SAWW duduk di tepi mihrab dan menerima hadiah-hadiah dari umatnya. Dia
berharap dalam hati, alangkah baiknya jika dia mempunyai simpanan yang
lebih pantas untuk diberikan kepada Nabi.
Tiba-tiba, masjid yang semula dipenuhi dengan suara ramai dilanda
kesepian dan kesunyian. Abu Aqil memandang kepada Rasulullah. Rupanya,
Rasul sedang menerima wahyu. Rasulullah SAWW menutup mata dan wajahnya
seolah-olah sedang tenggelam dalam cahaya yang bersinar. Semua sahabat
memahami keadaan Nabi ini dan menanti sampai Rasul selesai menerima
wahyu.
Rasulullah kemudian membuka matanya dan dengan langkah yang perlahan
beliau bergerak ke arah Abu Aqil. Jantung Abu Aqil berdebar-debar dan
dia berusaha untuk menyembunyikan bungkusan kurmanya. Lalu, terdengar
suara Rasulullah yang memecah kesunyian masjid, "Wahai manusia, baru
saja Jibril menyampaikan wahyu dari Allah kepadaku. Ketahuilah bahwa
para malaikat yang berada di langit, memandang bumi untuk menyaksikan
pinjaman siapakah yang terbaik di sisi Tuhan."
Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke atas pundak Abu Aqil dan
berkata, "Ketahuilah, hadiahmu lebih berharga dari emas di sisi Tuhan.
Orang munafik yang mencelamu dan menyebabkan hatimu sakit, kelak akan
diberi azab. Wahai Abu Aqil, para malaikat sedang menanti, berikan
hadiah itu kepadaku dan ketahuilah bahwa Allah ingin agar aku
menggembirakanmu. Engkau hari ini disenangi oleh Allah."
Abu Aqil masih tidak percaya, dia merasa seolah-olah sedang bermimpi,
sebuah mimpi yang amat manis. Rasulullah dengan penuh kasih sayang
mengambil bungkusan kurma tersebut dari tangannya dan membelai kepala
Abu Aqil. Ketika itu pula Rasul membacakan ayat ke-79 surah Taubah
yang artinya, "Orang-orang munafik yaitu orang-orang yang mencela
orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela
orang-orang yang tidak memiliki apapun untuk disedekahkan selain dari
yang disanggupinya. Allah akan membalas penghinaan mereka itu dan bagi
mereka azab yang pedih."
----------------------------------------------------------------
This message was Sent by Takaful Mail System
No comments:
Post a Comment