Wednesday, July 4, 2007

Nilai Diri adalah Keimanan dan Akhlak

Nilai Diri adalah Keimanan dan Akhlak
Publikasi: 20/04/2005


Ada seorang miskin, mengenakan kain usang, pakaian lusuh, perut lapar,
kaki tak beralas, berasal dari garis keturunan yang tidak terhormat,
tidak punya kedudukan, harta dan keluarga besar, tidak punya rumah
untuk berteduh, tidak punya perabotan berharga, minum hanya dari air
kolam umum yang diambil dengan gayung kedua tangannya, tidur di
masjid, tidur hanya berbantalkan tangan dan berkasur pasir bercampur
kerikil. Namun begitu, dia adalah seorang yang selalu berdzikir kepada
Rabbnya, selalu membaca Kitab Allah, dan selalu berada pada shaff
terdepan dalam shalat maupun dalam perang.

Suatu ketika dia lewat di dekat Rasulullah, Lalu Rasulullah memanggil
namanya dengan nyaring, "Wahai Julaibib, tidakkah kamu menikah?" Orang
itu menjawab, "Wahai Rasulullah, siapakah yang mau menikahkan putrinya
denganku? Aku tidak punya kedudukan dan tidak pula harta."

Beberapa hari kemudian Rasulullah bertemu dengannya. Rasulullah
menanyakan pertanyaan yang sama, dan dia pun menjawabnya dengan
jawaban yang sama pula. Pada pertemuan yang ketiga Rasulullah
mengajukan pertanyaan yang sama, dan dijawab dengan jawaban serupa.
Maka bersabdalah Rasulullah, "Wahai, Julaibib, pergilah ke rumah Fulan
--Rasulullah menyebut nama seorang Anshar-- lalu katakan padanya,
'Rasulullah menyampaikan salam untukmu dan memintamu untuk
mengawinkanku dengan anak perempuanmu'."

Sahabat Anshar dimaksud berasal dari keluarga terhormat dan
terpandang, maka berangkatlah Julaibib menemuinya. Diketuknya pintu
rumahnya, dan kemudian disampaikannya apa yang diperintahkan oleh
Rasulullah. Sahabat Anshar dimaksud mengatakan, "Semoga kesejahteraan
tercurah untuk Rasulullah. Tapi bagaimana bisa aku mengawinkan anakku
denganmu yang tidak mempunyai kedudukan dan harta?" Dari dalam anak
putrinya yang mukminah mendengar apa yang dikatakan oleh Julaibib dan
pesan Rasulullah yang disampaikannya, segera anak perempuan mukminah
itu berkata kepada kedua orang tuanya, "Apakah kalian menolak
permintaan Rasulullah? Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya!"

Selanjutnya, terjadilah sebuah pernikahan yang penuh berkah,
melahirkan sebuah keluarga yang penuh berkah, serta rumah tangga yang
baik yang didasarkan atas ketakwaan kepada Allah dan keridhaan
terhadap perintah-Nya. Beberapa waktu kemudian, datanglah seruan
jihad. Julaibib pun ikut berperang. Dengan tangannya terbunuh tujuh
orang musuh. Namun, dia sendiri juga terbunuh. Dia syahid dengan
berbantalkan tanah dengan penuh keridhaan kepada Allah, Rasul-Nya dan
kepada prinsip-prinsip yang menghantarkannya kepada ajal. Setelah itu
Rasulullah memeriksa semua korban dalam perang itu. Dan para sahabat
memberitahukan nama-nama siapa saja yang terbunuh. Tidak ada nama
Julaibib disebut, sebab memang dia tidak terkenal di kalangan sahabat.
Namun Rasulullah ingat sekali Julaibib. Beliau hafal nama itu di
tengah nama-nama besar yang terbunuh. Sergah Rasulullah: "Tapi kini
aku kehilangan Julaibib."

Rasulullah mendapati jasadnya penuh dengan debu, dan mengusap debu
dari wajahnya seraya berkata : "Engkau talah membunuh tujuh orang,
lalu engkau sendiri kini terbunuh. Engkau bagian dariku dan aku bagian
darimu. Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu." Pengenal dari
Nabi ini sudah cukup buat Julaibib sebagai tanda dan hadiah.

Sebenarnya nilai seorang Julaibib adalah keimanannya, kecintaan
Rasulullah kepadanya dan prinsip yang dia pegang teguh sampai dia
harus mati karenanya. Kemiskinannya dan ketidakjelasan garis
keluarganya tidak pernah menjadi penghambat untuk memeproleh kedudukan
mulia dan besar ini. Dia telah mencapai cita-citanya untuk mati
syahid, mendapatkan keridhaan, diterima oleh masyarakat, dan mendapat
kebahagiaan di dunia dan akhirat.

"Mereka dalam keadan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan
kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang
masih tinggal dibelakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati"
(QS Ali 'Imran :170)

Sesungguhnya nilai diri itu ada dalam makna-makna dan sifat-sifat
mulia yang ada dalam diri.

Kebahagiaan Anda ada dalam pemahaman, perhatian, dan keinginan anda
yang kuat terhadap sesuatu.

Kemiskinan dan kelemahan bukan hambatan bagi seseorang untuk mencapai
prestasi yang baik, untuk sampai ke tujuan, dan unggul atas orang
lain. Maka berbahagialah orang yang mengetahui harga dirinya,
berbahagialah orang yang telah membuat jiwanya bahagia dengan impian
yang telah dicapainya, jihad yang diikutinya, dan akhlak baik yang
menjadi nilainya. Berbahagialah yang telah menjadi baik sebanyak dua
kali, yang berbahagia di dua kehidupan dan mendapat kemenangan dua
kali : di dunia dan di akhirat.[]

***

Sumber: Laa Tahzan (Jangan Bersedih!), karya Dr. Aidh Al-Qarni,
terbitan Qisthy Press.

----------------------------------------------------------------
This message was Sent by Takaful Mail System

No comments: