Wednesday, July 4, 2007

Menemukan Cermin

Menemukan Cermin
Publikasi: 21/03/2005


Surakarta, Desember 1787. Pamflet gelap menempel di tempat penyimpanan
gamelan milik keraton. Isinya, sebuah gugatan untuk Pakubuwono III
yang dituduh menyimpang. Raja Surakarta itu memang akrab dengan
kolonial Belanda yang memeras tenaga rakyat, habis-habisan. "Mestikah
orang-orang Eropa (dianggap) lebih kuat daripada Allah?" Surakarta
sontak geger mencari-cari si pemasang pamflet. Tak tersedia petunjuk
kecuali sebuah nama yang menyebut dirinya sebagai Susuhunan Ayunjaya
Adimurti Senapati Ingulaga.

Pada waktu itu, tentu belum ada Jamaah Islam, Al Qaeda, Hamas, ataupun
Jihad Islam. Tapi, kecurigaan aparatur asal Eropa sudah sejak lama
dialamatkan pada Islam. Walhasil, seorang kyai ditangkap. Namanya,
Kyai Alim Demak. Kyai yang buta huruf latin itu diseret jadi terdakwa.
Sayang, belum ada presumption of innocence masa itu. Ia dihukum
sebelum sempat diadili. Kyai Alim Demak disiksa hingga tewas. Kulitnya
dikelupas selapis demi selapis. Tepat di bawah parasnya, pamflet yang
menggemparkan itu, dibakar.

***

Raja Mataram putera Sultan Agung, Amangkurat I, murka sejadi-jadinya.
Ada pembisik mengabarkan, ribuan ulama di wilayah kekuasaannya
bersimpati pada Pangeran Alit yang tengah memberontak. Akarnya? Raja
Mataram itu kerap mengorbankan rakyat demi kepentingan Belanda. Maka,
bila Babad Tanah Jawi bisa dipercaya, 6000 orang --terdiri atas para
ulama dan keluarganya-- yang menjadi tersangka, dikumpulkan di
alun-alun. Tanpa beban, dalam tempo kurang dari setengah jam semuanya
tersungkur menjadi mayat tanpa kepala. Amangkurat I memerintahkan
penyembelihan massal.

Pemberontakan, tokoh, terus berlanjut. Kali itu di bawah pimpinan
Pangeran Trunojoyo, asal Madura. Amangkurat I akhirnya tumbang, dan
anaknya, Amangkurat II, diserahi Trunojoyo untuk melanjutkan kekuasaan
ayahnya. Tapi, tak lama setelahnya, ketika para bupati diundang dan
dikumpulkan di balairung kerajaan. Di hadapan mereka disuguhkan adegan
mengerikan. Amangkurat II menikam Pangeran Trunojoyo, lantas membelah
perut dan mengambil hatinya. Setelah dicincang, ia bagi-bagi pada para
bupati untuk ditelan mentah-mentah. Menguji loyalitas.

***

Lelaki kurus itu hidup di Kota Kufah, akhir abad ke-7. Tak banyak yang
tahu kalau dia yang kali pertama menemukan cara membuat ubin lantai di
masa itu. Sebagai saudagar, ia dikenal praktis, meski tidak
terperangkap jadi pragmatis. Sepenjuru kota tahu, dialah yang
mengogahi kompromi, sekalipun untuk sesuatu yang menguntungkan
dirinya. Tak banyak cakap, namun dikenal bijak beragumentasi --pandai
menjaga perasaan mitra diskusi. Dan ia, juga seorang ulama ternama.
Dialah Abu Hanifah, dikenal sebagai Imam Hanafi, salah satu pendiri
mazhab fiqh Islam.

Adakah ia seorang cerdas? Lebih dari itu, boleh jadi ia orang yang
paling berhati-hati menjaga diri dari syubhat, apalagi yang haram. Ia
keras terhadap diri sendiri. Suatu hari, telah tiba beberapa ekor
domba hasil rampasan yang tercampur dengan ternak milik penduduk
Kufah. Berita lekas menyebar dan sampai ke telinga Abu Hanifah. Sontak
ia mencari tahu, "Berapa tahun biasanya umur seekor domba?" Seorang
penggembala menjawab, "Tujuh tahun!" Lantaran itu, selama tujuh tahun
ia mengharamkan daging domba masuk ke lambungnya.

Suatu kali, 10.000 dirham dikirimkan Khalifah Ja'far al Manshur
sebagai hadiah. Lelaki itu hanya berucap pendek, "Taruh saja di sudut
rumah." Hingga kematiannya, ia tak pernah sentuh. Sepeninggalnya, ia
mewasiatkan puteranya untuk mengembalikan uang itu pada Baitul Maal.

Puncak penolakan Abu Hanifah akhirnya tak terelakkan saat sang
khalifah menunjuknya sebagai hakim agung (qadhi al qudha). Ia menolak,
karena kekuasaan yang telanjur dianggapnya terlalu banyak distorsi
yang kelewatan. Khalifah yang tak terima alasan itu mengirim Abu
Hanifah ke bui. Di sana ia dipukul dan dicambuk. Punggungnya menebal
beberapa senti, kapalan ternyata, akibat cemeti yang menyabetnya
nyaris setiap hari.

Masih di dalam penjara, Khalifah Ja'far menjenguknya. Ia masih
membujuk Abu Hanifah untuk menerima tawaran sebagai hakim agung
--sekaligus menghadiahi uang dalam jumlah yang lebih besar, 30.000
dirham. Abu Hanifah singkat bertutur, "Apakah kekhalifahan masih
memiliki uang yang halal?" Wajah Ja'far al Manshur memucat. Malu, juga
marah. Hingga kematiannya, Abu Hanifah tetap hidup dalam penjara,
bersama siksa yang tak kunjung reda. Lehernya, sejak itu, dikalungi
rantai seorang pesakitan.

Adakah Abu Hanifah keras kepala? Atau, hatinya memang sekeras batu?

Sepertinya, sih, tidak. Semua orang tahu, ia keras terhadap diri
sendiri, namun ringan memberi fatwa bagi para pengikutnya. Ia lembut
bersuara, sekaligus merangsang lawan bicara untuk membantahnya.

"Demikianlah pendapat Abu Hanifah, dan ini yang sebaik-baiknya
sepanjang pengetahuan kami. Bila datang keterangan yang lebih baik,
dialah yang lebih utama diikuti."

Maka, terkenanglah kini seorang ulama yang meneguhi kemerdekaan
berpikir --sebuah kemerdekaan yang mampu mengatasi 2 pertarungan
besar. Pertama, kemerdekaan yang mampu membebaskan diri dari rasa
takut, bersikap tegas atas rayuan --ataupun ancaman-- kekuasaan
despotik. Kedua, kemerdekaan yang membebaskan diri dari sikap "tahu
segala hal" dan merasa paling benar sendiri.

Seolah meneguhkan, Rumi pun bertanya retoris berbilang abad kemudian,
"Tak tahukah engkau, ada banyak jalan menuju Ka'bah?"

***

Sejarah di suatu masa memang kerap berpihak pada kelompok yang paling
bising menyuarakan agitasi dan propaganda: kasta yang memerintah.
Sejarah bisa jadi timpang. Tapi sejarah pula akhirnya yang menyuguhkan
pengajaran: manipulasi dan kebohongan dalam sejarah yang dikendalikan
kekuasaan, memiliki durasi waktu yang tak abadi. Kebenaran, tak
mungkin berselingkuh, bahkan dalam diamnya sekalipun.

Suatu generasi mesti punya amunisi keberanian yang cukup untuk
berdialog dengan masa silam secara jujur. Tak cukup hanya untuk
dikenang, melainkan mencari titik-titik progresi kebenaran untuk
diteruskan. Keberanian sejenis itu mjenghadirkan cermin pembanding
yang luas untuk sebuah pertanyaan bagi hari ini: kemajuan, atau justru
kemerosotan?

Memang, terkadang banyak orang yang tak siap memperdengarkan suara
dari sesuatu yang lampau. Tapi ada keharusan, karena di pelataran-Nya
kita tak mempertanggungjawabkan dosa secara massal. Melainkan, "Kamu
akan datang kepada Kami satu-satu, seperti Kami ciptakan kamu,
dahulu." (Surah Al-An'aam: 94)

Belajar menghisab diri lewat pengakuan dosa dalam cara yang paling
telanjang, setidaknya, membantu menghadirkan ingatan. Tentang Hari
Pengadilan yang niscaya datang, entah kapan. Dan masa silam, membantu
kita melakukan semacam komparasi: kemajuan, atau justru kemerosotan,
yang telah kita kerjakan?

Karena hidup, mestinya bukan gelanggang manifestasi dari berbagai
penyangkalan. Melainkan sebuah penerimaan atas otokritik yang tidak
berbalut dusta. Pada hari ini sewajarnya ada kelebihan dibanding
kemarin. Dan esok, sepatutnya lebih sempurna dari waktu sekarang. Bila
tidak, merugi dan celakah manusia. Demikian Kekasih Muhammad SAW,
mendambakan.

***

Aksara Kauniyah
aksarakauniyah@yahoo.com

----------------------------------------------------------------
This message was Sent by Takaful Mail System

No comments: